Hari ini tidak terasa sudah tujuh bulan lebih usia kandunganku.
Janin di dalam perut sudah semakin besar. Tendangan demi tendangan semakin sering kurasakan.
Senang rasanya. Apalagi suami semakin sayang dan perhatian orang - orang sekelilingku semakin besar.
Sebagai seorang Jawa yang sedang mengandung anak pertama, aku tahu persis jika ini waktu yang tepat untuk acara mitoni. Akhirnya aku pun mengutarakan maksudku ini kepada suamiku dan dari hasil pembicaraan kami sepakat untuk melangsungkan acara Mitoni tersebut di kampung halaman kami, Semarang.
Jumat malam 18 November 2011, aku dan suami bertolak ke kampung halaman tercinta. Akhirnya dengan pinggang yang cukup pegal dan tidur tak nyenyak sampailah kami di Semarang pukul 05.00 WIB. Sesampainya di Semarang, kami beristirahat beberapa jam di rumah orang tuaku. Sesudahnya kami berdua membantu menyiapkan hal - hal yang dibutuhkan untuk acara Mitoni tersebut mulai dari tempat, makanan, penata acara mitoni, sampai dengan ustadz yang akan mengisi tausiah. Jadi acara tidak hanya acara yang berisi ritual - ritual budaya Jawa, tetapi juga berisikan pengajian untuk mendoakan kelancaran kehamilan dan persalinanku sehingga nantinya aku dan anakku dapat menjalani proses persalinan yang lancar, mudah, sehat, dan selamat.
Jujur aku belum pernah hadir dan melihat upacara mitoni sehingga upacara ini merupakan hal yang baru dan menarik buatku. Sungguh kagum aku dibuatnya karena upacara ini penuh dengan simbol - simbol yang mempunyai arti luhur mulai dari awal acara hingga akhir. Hanya saja karena kami tidak ingin merepotkan banyak pihak, upacara mitoni ini dibuat sederhana. Selain untuk mendapatkan kehidmatan, sederhananya acara membuat kami merasakan rasa syukur atas rahmat yang telah diberikan Allah kepada keluarga kecil kami.
Upacara Mitoni ini diawali dengan pengajian yang dihadiri kerabat dekat dan tetangga sekitar rumah orang tuaku. Pengajian dipimpin oleh Bapak Ustadz H. Khamami, S.Ag, M.Pd. Seusai pengajian, acara mitoni dilanjutkan dengan upacara adat Jawa yang dipimpin oleh Ibu Dyah dari Rias Putri Ayu Semarang dan didampingi oleh Ibu Anti (adik dari Ibu Dyah).
Untuk upacara adat Jawa, Mitoni diawali dengan siraman oelh 7 orang menggunakan air yang diambil dari 7 sumber yang berbeda. Siraman diakhiri dengan wudhu menggunakan air tersebut. Hal ini perlambang penyucian diri. Kemudian dilanjutkan dengan pemasangan daun kelapa yang di bentuk bunga di perutku. Bunga tersebut kemudian dipotong (menggunakan gunting) oleh suami tercinta. Hal ini perlambang permohonan kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk diberikan kemudahan ketika melakukan persalinan. Selain itu suami memasukkan telur lewat sarung, apabila pecah berantakan dipercaya bayi yang dilahirkan perempuan sedangkan pecah retak dipercaya bayi yang dilahirkan laki - laki. Kebetulan telur pecah berantakan, jadi diperkirakan bayi yang lahir perempuan.
Selanjutnya ibu kandungku memasukkan 2 buah kelapa muda (cengkir) yang sudah digambari Kamajaya dan Kamaratih yang kemudian digendong oleh ibu mertua. Dua buah cengkir tersebut digendong dan ditimang seolah - olah sedang menggendong sang cucu. Kemudian cengkir tersebut ditidurkan di kasur dan dipilih secara random. Apabila yang terpilih cengkir bergambar Kamajaya, dipercaya bayi yang dilahirkan kelak bayi laki - laki. Sedangkan jika yang dipilih cengkir bergambar Kamaratih, dipercaya bayi yang dilahirkan kelak bayi perempuan. Kebetulan ibu Mertua secara tidak sengaja memilih cengkir bergambar Kamaratih.
Kemudian cengkir tersebut dibelah oleh suami tepat di tengah kemudian airnya kami minum.
Setelah upacara meminum air cengkir, kami melakukan upacara ganti baju sebanyak tujuh kali. Aku dipakaikan kebaya dan jarit sebanyak tujuh kali masing - masing oleh orang yang berbeda, mulai dari orangtua, mertua, hingga suami tercinta.
Yang jelas upacara mitoni sarat makna dan simbol dengan harapan Allah akan memberikan perlindungan dan kemudahan pada saat persalinan (mitoni - pitu - pitulungan).
Aku sebagai seorang Jawa merasa bahwa upacara adat seperti ini perlu dilestarikan.
Untuk upacara adat Jawa, Mitoni diawali dengan siraman oelh 7 orang menggunakan air yang diambil dari 7 sumber yang berbeda. Siraman diakhiri dengan wudhu menggunakan air tersebut. Hal ini perlambang penyucian diri. Kemudian dilanjutkan dengan pemasangan daun kelapa yang di bentuk bunga di perutku. Bunga tersebut kemudian dipotong (menggunakan gunting) oleh suami tercinta. Hal ini perlambang permohonan kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk diberikan kemudahan ketika melakukan persalinan. Selain itu suami memasukkan telur lewat sarung, apabila pecah berantakan dipercaya bayi yang dilahirkan perempuan sedangkan pecah retak dipercaya bayi yang dilahirkan laki - laki. Kebetulan telur pecah berantakan, jadi diperkirakan bayi yang lahir perempuan.
Selanjutnya ibu kandungku memasukkan 2 buah kelapa muda (cengkir) yang sudah digambari Kamajaya dan Kamaratih yang kemudian digendong oleh ibu mertua. Dua buah cengkir tersebut digendong dan ditimang seolah - olah sedang menggendong sang cucu. Kemudian cengkir tersebut ditidurkan di kasur dan dipilih secara random. Apabila yang terpilih cengkir bergambar Kamajaya, dipercaya bayi yang dilahirkan kelak bayi laki - laki. Sedangkan jika yang dipilih cengkir bergambar Kamaratih, dipercaya bayi yang dilahirkan kelak bayi perempuan. Kebetulan ibu Mertua secara tidak sengaja memilih cengkir bergambar Kamaratih.
Kemudian cengkir tersebut dibelah oleh suami tepat di tengah kemudian airnya kami minum.
Setelah upacara meminum air cengkir, kami melakukan upacara ganti baju sebanyak tujuh kali. Aku dipakaikan kebaya dan jarit sebanyak tujuh kali masing - masing oleh orang yang berbeda, mulai dari orangtua, mertua, hingga suami tercinta.
Yang jelas upacara mitoni sarat makna dan simbol dengan harapan Allah akan memberikan perlindungan dan kemudahan pada saat persalinan (mitoni - pitu - pitulungan).
Aku sebagai seorang Jawa merasa bahwa upacara adat seperti ini perlu dilestarikan.